Intan Nirmala Hasibuan, S.Si., M. Pd
CGP Recognisi
Guru SMP Negeri 3 Banda Aceh
Mempelajari
Modul Budaya Positif, memberikan pengalaman, pemahaman dan pengetahuan tentang bagaimana
mewujudkan Visi Sekolah yang berpihak pada murid. Ki hajar Dewantara dalam
sebuah tulisannya telah menuliskan “…kita ambil contoh perbandingannya
dengan hidup tumbuh-tumbuhan seorang petani (dalam hakikatnya sama kewajibannya
dengan seorang pendidik) yang menanam padi misalnya, hanya dapat menuntun
tumbuhnya padi, ia dapat memperbaiki kondisi tanah, memelihara tanaman padi,
memberi pupuk dan air, membasmi ulat-ulat atau jamur-jamur yang mengganggu
hidup tanaman padi dan lain sebagainya.” (Lampiran 1. Dasar-Dasar
Pendidikan. Keluarga, Th. I No.1,2,3,4., Nov, Des 1936., Jan, Febr. 1937).
Berdasarkan
tulisan beliau ini saya semakin memahami bagaimana peran sekolah dan guru sebagai
penyelenggara pendidikan. Sekolah dan guru di analogikan sebagai lahan
persemaian dan petani, sedangkan murid dianalogikan sebagai benih padi. Dalam hal
ini sekolah sebagai sebuah institusi dan guru hendaknya mampu menuntun segala
kekuatan kodrat yang ada pada murid agar mereka mendapatkan keselamatan dan
kebahagiaan yang setingi-tingginya baik sebagai manusia maupun anggota
masyarakat. Salah satu upaya yang harus dilakukan dalam menggapai visi tersebut
adalah menyediakan lingkungan belajar yang positif.
Lingkungan
sekolah dan kelas yang nyaman, aman, dan menyenangkan akan sangat mendukung murid
mengalami dan menerima pembelajaran bermakna dan menyenangkan. Lingkungan belajar
yang aman dan nyaman dapat dicapai dengan penumbuhan Budaya positif. Jadi baik
untuk mendapatkan tujuan belajarnya maupun penumbuhan karakter mulia diperlukan
penerapan budaya positif. Dengan kata
lain visi sekolah yaitu mewujudkan karakter Profil Pelajar Pancasila dapat
dicapai melalui penerapan budaya positif
Penerapan
disiplin positif di sekolah merupakan salah satu strategi yang dapat dilakukan untuk
menumbuhkan budaya positif. Kata disiplin sebenarnya bukanlah kata baru dalam
lingkup sekolah. Arti kata disiplin sebenarnya adalah” belajar”. Jadi makna
disiplin adalah bagaimana seorang manusia belajar untuk dapat mengontrol
dirinya agar dapat mencapai suatu tujuan mulia. Tujuan mulia yang mengacu pada
nilai-nilai atau prinsip-prinsip mulia yaitu nilai-nilai kebajikan universal.
Memiliki
murid yang berdisiplin adalah impian setiap guru dan orang tua, dan guru telah
berupaya untuk mendisiplinkan murid mereka. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah
upaya pendisiplinan yang kita lakukan di sekolah sudah berjalan efektif dan
memberikan kemanfaatan berupa kondisi yang aman nyaman bagi seluruh warga
sekolah.
Kita
ketahui bersama sebagian besar guru memilih pemberian hukuman dan penghargaan
atau hadiah menjadi salah satu cara untuk mendisiplinkan murid. Agar murid
rajin dan mematuhi perintah guru, hadiah dan pujian dijadikan cara untuk membujuk
murid. Siapa yang tidak suka mendapat hadiah atau pujian. Padahal sebenarnya kita
ketahui pemberian hukuman itu ternyata memberi efek negatif dan berdampak
jangka panjang bagi murid. Pemberian hukuman dan hadiah sebenarnya merupakan praktik
pendisiplinan yang berakibat ketaatan jangka pendek pada murid. Dari modul ini
kita belajar bahwa ternyata motivasi murid untuk berdisiplin sebaiknya muncul
dari dalam diri murid yang dikenal dengan motivasi intrinsik. Memunculkan
perilaku karena menghargai diri sendiri yang akan membantu murid dalam
kehidupannya pada masa depan.
Praktik
pendisiplinan lainnya dalam menyelesaikan permasalahan seputar disiplin dari
warga sekolah adalah dengan metode restitusi. Metode ini memiliki kemanfaatan
yaitu untuk menimbukan pengendalian diri dan ketaatan jangka panjang bagi murid.
Mengapa restitusi dianggap tepat dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi
murid dengan sekolah, guru bahkan antara sesama murid? Restitusi mengajak kita
untuk menerapkan praktik disiplin dengan kembali mengingat 5 kebutuhan dasar
hidup manusia.
Kita sadari bersama bahwa seluruh tindakan manusia memiliki tujuan tertentu. Semua yang kita lakukan adalah usaha terbaik kita untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Ketika kita mendapatkan apa yang kita inginkan, sebetulnya saat itu kita sedang memenuhi satu atau lebih dari satu kebutuhan dasar kita, yaitu kebutuhan untuk bertahan hidup, kasih sayang dan rasa diterima, kebebasan, kesenangan, dan penguasaan. Jadi, perlu diingatkan bahwa ketika seorang murid melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kebajikan, atau melanggar peraturan, hal itu sebenarnya dikarenakan mereka gagal memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Agar
restitusi dapat diterapkan maka diperlukan 2 hal yang harus di lakukan oleh guru
/sekolah yaitu adanya keyakinan kelas dan pemahaman guru tentang 5 posisi
kontrol diri. Selama ini sekolah telah memiliki peraturan-peraturan demi
terjadinya disiplin, namun saat dijalankan peraturan-peraturan ini masih sering
di langgar oleh warga sekolah sehingga tidak efektif. Salah satu metode agar
disiplin berjalan adalah merubah peraturan-peraturan dan beralih kepada keyakinan
kelas. Keyakinan sekolah/kelas dapat menjadi landasan dalam memecahkan konflik
atau permasalahan di dalam sebuah sekolah/kelas. Pentingnya memilih dan
menentukan nilai-nilai kebajikan yang akan diyakini dan disepakati sebagai
keyakinan kelas seluruh warga sekolah adalah sebuah keharusan, agar kelak
tercipta sebuah budaya positif yang akan mendukung tercapainya Visi Sekolah.
Sebenarnya
selama ini, beberapa upaya penumbuhan budaya positif sudah berjalan di kelas
maupun di sekolah CGP. Budaya positif yang sudah berjalan antara lain adalah menanamkan
kebajikan-kebajikan universal dan penumbuhan motivasi kepada warga sekolah. Namun
upaya menanamkan nilai kebajikan masih berupa aturan-aturan yang dirasakan
mengekang seluruh warga sekolah. Harus ada upaya agar aturan-aturan dapat
digantikan dengan keyakinan kelas/sekolah yang sifatnya adalah hasil kesepakatan
warga sekolah.
Setelah
mempelajari modul Budaya Positif ini saya menyadari bagaimana pentingnya penumbuhan
budaya positif bagi semua warga sekolah. Refleksi yang saya lakukan setelah
puluhan tahun mengajar mengantar saya pada kenyataan bahwa selama ini saya
belum sepenuhnya berperan dalam penumbuhan budaya positif baik di kelas maupun
disekolah. Walaupun rasa kecewa pada
diri ini muncul namun terselip pula rasa syukur saat menyadari bahwa saya masih
diberi kesempatan untuk menjadi pendidik yang berperan dalam penumbuhan budaya
positif di sekolah. Kesempatan mempelajari dan mengimplementasikan modul budaya
positif ini saya yakini dapat membawa perubahan sekaligus memperbaiki proses
pembelajaran baik di kelas maupun disekolah dimasa yang akan datang.
Penumbuhan
motivasi bagi warga sekolah juga belum berjalan semestinya. Penumbuhan motivasi
yang terjadi masih berorientasi pada motivasi eksternal yang berorientasi pada
pemberian penghargaan dan hukuman. Padahal idealnya motivasi yang harus
ditumbuhkan dalam diri warga sekolah adalah motivasi intrinsik. Saya akui ada
pertanyaan besar dalam diri saya mengapa motivasi berupa pemberian penghargaan
pada murid juga dianggap kurang ideal, selama ini saya merasakan murid bahagia
saat kita memberikan reward atau pujian pada mereka. Bukankah ini akan menbawa
perasaan senang dan bahagia pada mereka? Walaupun saya telah belajar bahwa
salah satu kekurangan pemberian penghargaan adalah murid akan terus berharap,
dan saat guru belum mengapresiasi maka akan timbul perasaan yang tidak menyenangkan
dalam diri murid. Namun sekarang saya akan berupaya mengupayakan penumbuhan
motivasi internal dari murid saya.
Pembelajaran
lainnya dari modul budaya positif ini yang sangat menarik adalah tantang posisi
kontrol diri seorang guru. Kita melihat bahwa fenomena yang terjadi di banyak sekolah
peran posisi guru adalah sebagai penghukum, pembuat rasa bersalah serta pemantau.
Ini menjadi pembelajaran terpenting bagi saya karena ke tiga posisi tersebut
ternyata memiliki efek negatif yang lebih besar dibanding dengan efek
positifnya. Saya pribadi sebenarnya sangat sering memposisikan diri sebagai
teman, namun di modul ini saya belajar bahwa posisi manajerlah yang paling
diharapkan dari seorang guru. Memilih posisi kontrol diri yang tepat, ideal, menerapkan
pemecahan masalah menggunakan langkah-langkah restitusi, serta penumbuhan
motivasi intrinsik dalam diri murid belum sepenuhnya saya lakukan.
Saya
menyadari membangun budaya positif di sekolah kepada murid bukanlah menjadi
kewajiban satu atau dua orang guru saja. Semua guru di sekolah harus
berkolaborasi untuk mencapai visi sekolah yaitu sekolah dengan lingkungan
belajar yang positif. Kedepannya nanti, untuk menumbuhkan Budaya positif di
kelas dan sekolah saya akan tergerak, bergerak dan menggerakkan seluruh warga
sekolah untuk menerapkan budaya positif. Pengetahuan, pemahaman dan pengalaman yang
saya dapatkan melalui pembelajaran di modul ini akan saya laksanakanagar dapat
menjadi contoh bagi rekan -rekan di sekolah. Agar penerapan disiplin positif dari
rekan-rekan guru berjalan baik maka saya akan berbagi pengetahuan dan pemahaman
ini kepada mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar